Cinta itu Asa


Bu En terbaring lemah di bed. Infus terpasang di tangan kanannya, ia terlihat sesak yang karenanya sebuah kanul oksigen bertengger di lobang hidungnya. Dia letih, pucat dan sembab. Bu En adalah pasien Gagal Ginjal Kronik yang sudah tiga hari mondok di RSIAM Taman Puring. Perawat meminta Dokter Hasan untuk 'melihatnya' dan membujuk untuk bersedia menjalani hemodialisis sebagai jalan terapi satu-satunya. ia sudah 5 bulan didiagnosa GGK dan telah dianjurkan untuk menjalani Hemodialisis oleh dokter-dokter ahli yang merawatnya, namun alih-alih bersedia yang terjadi justru ia menolak dan kondisinya semakin buruk. Berbagai upaya telah ditempuh suami dan keluarga agar Bu En mau di-HD, termasuk mendatangkan temannya yang pernah mengalami penyakit dan terapi serupa. saudara iparnya yang perawat di RS PELNI pun telah kehabisan usaha. Nah, dr Iman ahli hipertensi dan nefrologi di RSIAMTP yang sekarang merawat BU En juga menganjurkannya menjalani HD sebab kadar Ureum, Creatininnya telah jauh melebihi batas, ia hanya bisa kencing 10cc padahal telah diberi Lasix 2x3 ampul. Badannya semakin sembab dan pucat. Perawat ruangan meminta Dokter Hasan melakukan tugas yang asing: memotivasi Bu En!
Selesai mengenalkan diri, Dokter Hasan memulai obrolan dengan beberapa pertanyaan seputar keadaan si ibu saat ini. Bu En berumur 40 tahun, bekerja di sebuah BUMN dan memilki seorang anakperempuan berumur 8 tahun. Entah sengaja untuk menutupi kepucatannya, bibirnya berpoles lipstik. Namun kelopak matanya tak mampu menyembunyikana anemia yang ia derita. Nafasnya terlihat payah, pikirannya acap terlihat kosong.
Setelah melihat si ibu, Dokter Hasan mengajak suaminya bicara di ruang perawat dan menanyakan beberapa informasi seputar sakit sang istri dan sejauh mana usaha yang telah ditempuh. Agaknya sang suami yang terlihat lebih muda 5 tahun dari Bu En itu sudah pasrah juga tidak tahu harus bagaimana memotivasi sang istri tercintanya. matanya berkaca-kaca saat bekata,"Akhirnya saya harus berdiri di pihak istri saya, karena yang ia butuhkan kini hanyalah dukungan. Semua orang, para dokter dan saudar-saudaranya mengeroyoknya dengan bujukan untuk HD tapi bagaiman ia sendiri tidak mau? Saya harus ada di sisinya, di pihaknya dan berhenti menyinggung masalah HD ini"
"Saya faham," kata Dokter Hasan kalem. Ia dari tadi lebih banyak mendengar dan mengikuti alur fikiran sang suami. Ia sedang memberikan empati. Matanya menyelami apa yang dirasakan sang suami. Beberapa kali kontak mata yang dalam terjadi antara Dokter Hasan dengan suami Bu En. "Kalau sudah begitu banyak termasuk para dokter ahli menjelaskan ke ibu dan membujuk untuk HD tapi tak berhasil Kira-kira siapa menurut Bapak yang bisa melakukannya ya? Ada orang yang bisa ia percaya?"
Sekali lagi Dokter Hasan menatap suami Bu En. Bertanya-tanya. Prihatin.
Suami Bu En mengelap matanya, lalu berkata, "Kelihatannya dokter bisa?"
Dokter Hasan terdiam. Orang ini memberikan kepercayaan kepadanya. Orang ini berharap darinya. apakah aku terlihat mampu? pakah karena tidak ada orang lain lagi? Ataukah ia hanya trial and error? Dokter Hasan tersenyum, "Saya akan coba..."
Dokter Hasan kembali mengetuk pintu kamar rawat Bu En, sebuah kamar kelas 2 yang lumayan nyaman. Bu En masih seperti tadi. Dan mungkin masih seperti 5 bulan yang lalu. Begitulah hari-harinya. Kosong, sembab dan memucat.
Dengan pakaian batik sehabis kondangan siangnya, Dokter Hasan tidak seperti seorang dokter. Barangkali ini menguntungkan, karena ia sudah menyingkirkan bayang-bayang seram seorang dokter yang menjatuhinya vonis mengerikan ini: gagal ginjal, penyakit tak tersembuhkan!
Sang dokter tampil lebih rileks. Ia duduk lebih dekat kearah Bu En. Di ruang itu ada dia, Bu En, ibunda Bu En dan Ve, anak gadisnya yang manis berumur 8 tahun. "Saya sudah bicara dengan suami Ibu. Saya memahami perasaan ibu. Saya sekarang ada di sebelah Bu En untuk mendengar langsung dari ibu, kenapa ibu tidak mau cuci darah?"
Bu En berhenti mengamati baju batik sang dokter. Fokus matanya melambung ke sebuah titik, jauh dari ruang kami bicara. Di titik entah. Biarkan ia senyap. Kadang senyap berguna. Ia jadi punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan sadar. Dengan sangat sadar.
"Takut." jawabnya tanpa ekspresi. Dan hampir tak terdengar.
"Ya. Takut,semua orang pasti takut sakit. Takut menjalani pengobatan yang belum pernah dilakoni. Tapi apa yang Bu En takutkan?"
Seperti tadi, perlu waktu beberapa puluh detik untuk menunggu jawaban dari bibir pucat berlipstik itu. Dan jawabannya hanya: "Sakit.." Sedatar dan sepelan yang pertama.
Lantas mulailah dokter yang masih muda itu berkisah apa itu Gagal Ginjal Kronik, bagaimana hemodialisis itu dikerjakan, apa akibatnya kalau dibiarkan, kisah-kisah penderita GGk yang sukses menjalani hidup dengan wajar, tentang harapan, tentang peran Allah dalam sakit seseorang dan kesembuhannya. Tentang cinta, tentang asa. sesekali ia menyentuh kaki si ibu yang terbalut selimut tebal. Ia percaya sentuhan mengalirkan kedekatan, menembus sekat, membuka pintu percaya. Kata-kata yang ia pilih adalah kata-kata penuh harapan. Nadanya diuntai selembut cinta.
"Ibu masih muda. Lihat nih anak ibu yang manis, kepengin dia lihat mamanya sehat. Jalan-jalan bareng. Ibu juga punya orang tua yang perhatian banget nungguin di RS..." tangan dokter Hasan menepuk-nepuk bahu Ve, anak Bu En itu.
Saat itulah, sekelebat dokter Hasan menangkap ada kilat di mata Bu en, tidak selayu tadi. Agaknya Bu En mulai percaya pada sang dokter pengisah. (Dokter ini bukan orang asing, lihatlah ia merangkul anakku. Ia tidak memandangku seperti pasien biasa. Tiba-tiba ia seperti orang yang sudah lama kukenal. Sepertinya tak salah kalau aku menuruti yang ia katakan..)
Dokter Hasan terus berkisah dengan sehati-hati mungkin, jangan sampai kepercayaan yang ia bangun roboh dengan sekali salah ucap. Ia masih meneruskan cerita-ceritanya. Masih berusaha menghadirkan asa dari cinta orang-orang terdekat Bu En. Tidak mudah membangun rasa percaya. Tidak mudah membangun kepercayaan diri Bu En yang sudah terlanjur putus asa. Antara yakin dan tidak yakin akan kemampuan dirinya, dokter Hasan terus mendekati sebuah titik: titik kepercayaan itu. Titik bernama kuncup asa.
Perlu waktu setengah jam untuk sampai kepada sebuah pernyataan yang telah ditunggu-tunggu selama 5 bulan. Ketika dengan suara yang masih lemah namun tidak terlalu datar:"Baiklah, saya pasrah.."
"Bagaimana, Bu En? Jadi mau ya cuci darah?
Ia mengangguk.
Ibunda Bu En menangis haru. Ia merangkul Dokter Hasan sambil tak henti-hentinya mengucap terima kasih dan alhamdulillah. Dokter Hasan menjabat tangan Bu En, memastikan dirinya akan turut mendoakan bagi kesembuhannya.
Di luar kamar, suami Bu En dan keluarganya berbahagia menemukan sebuah harapan tumbuh pada Bu En. Sore yang gerimis itu beberapa orang berbahagia. Sebahagia hati dokter Hasan.

NB: ketika menulis ini saya teringat ketika dokter Linda Yaunin SpKJ, dosen saya
dulu mendekati pasiennya seorang gadis yang mencoba bunuh diri (tentamen suicide). Secara tak sadar, tokoh dokter Hasan sedang mengadopsi gaya beliau. terima kasih, dokter Linda.

Manusia Setengah Dokter


Pasien, yang merupakan makhluk kompleks material spiritual sudah semestinya mendapatkan penanganan penyakit yang lebih holistik. Kesehatan holistik, menurut wikipedia, adalah filosofi kesehatan yang memandang bahwa aspek jasad dan mental adalah dua hal yang berkaitan erat dan sama pentingnya dalam pendekatan terapi.
Tuntunan bagi seorang dokter untuk tampil menangani pasien secara holistik datang dari Islam, yang menempatkan manusia apapun profesi dan posisinya adalah seorang khalifah Allah di bumi. Dalam bukunya, Sang Dokter, Dr Bahar Azwar SpB,Onk menulis bahwa seorang dokter adalah fungsionaris Allah di dunia kesehatan karena sumpah dokter selalu dimulai dengan nama Allah. Dengan begitu maka cara pandang kita terhadap manusia juga harus dengan cara pandang Islami, yang melihat bahwa manusia adalah makhluk tertinggi yang terdiri atas jasad, ruh dan akal yang menjadi satu entitas bernama al insan.
Kedudukan sebagai khalifah medis tentu memiliki tanggung jawab dan kualifikasi tertentu. Dalam buku At Thib an Nabawi (Praktek Kedokteran Nabi, Hikam Pustaka) Ibnul Qayyim al Jauzi menulis begini:
Hendaknya seorang dokter memilki keahlian di bidang penyakit hati dan ruh serta pengobatannya. Sebab hal itu adalah pangkal yang agung untuk pengobatan badan, sebab terpengaruhnya badan dan sifat alamiahnya oleh jiwa dan hati adalah kenyataan yang telah terbukti. Dokter yang mengetahui berbagai jenis hati dan ruh serta pengobatannya maka ia adalah dokter yang sempurna. Dan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, meski ia ahli dalam pengobatan segi alamiah dan badaniah maka ia hanyalah setengah dokter. Setiap dokter yang tidak mengobati pasien dengan membersihkan hati pasien itu dan memperbaikinya dan dengan memperkuat ruhnya dengan sedekah dan perbuatan baik, dan dengan mengarahkan perhatian kepada Allah dan akhirat maka ia bukanlah seorang dokter, melainkan seorang yang berlagak dokter yang cacat.
Dari semua pengobatan penyakit, yang paling agung adalah perbuatan baik dan ihsan, ingat Allah dan doa serta sikap penuh kekhusyukan dan memohon kepada Allah serta taubat...Tetapi hal itu sepadan dengan tingkat kesediaan jiwa pribadi dan penerimaannya (ikhlas), serta keyakinan akan manfaatnya.

Begitulah, kalau Hippocrates yang diangap Bapak Kedokteran (500SM) dan para dokter sejamannya menyebut diri Demigod (Manusia Setengah Dewa)dengan segala otoritasnya, justru Islam menuntun para dokter untuk lebih tawadhu' dengan mengemukakan konsep "Setengah Dokter". Ibnul Qayyim secara sadar menyatakan itu sebagai sebuah bentuk taujih (pengarahan) bagi dokter muslim untuk tampil secara holistik dan mengambil peran da'awi (amar ma'ruf nahi munkar) melalui profesinya.
Ia telah mengembang tugas kekhalifahan di wilayah kesehatan dengan baik.Ia telah mengambil alih tugas keseluruhan manusia untuk memelihara kesehatannya. dalam Al Quran dinyatakan bahwa barangsiapa yang memelihara hidup seorang manusia maka ia menjaga hidup seluruh manusia. Ini karena menurut Imam Al Ghazali tugas belajar kedokteran adalah adalah fardhu kifayah, sebuah kewajiban bagi seluruh manusia yang cukup diwakilkan kepada sebagian orang, dalam hal ini para dokter kejatuhan pulung mengemban amanah agung. Dokter muslim, sungguh agung kedudukannya!
Bila seorang dokter bisa memiliki keahlian medis yang bertanggung jawab, memilki pola pendekatan yang lebih humanis terhadap manusia sebagai insan spiritual, memahami secara cukup masalah hati, berhenti memandang pasien sebagai makhluk material semata apalagi menjadikan pasien sebagai sumber ekonomi, maka ia adalah dokter yang sebenarnya.Dokter yang ahli tetapi miskin nilai spiritual, atau kelewat kyai tetapi tidak kompeten maka ia bukanlah dokter.
Barangkali tidak salah kalau saya menimbrungkan pendapat bahwa antara dokter dengan pasien harus ada 'cinta'. Sebuah formula yang mampu menumbuhkan perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab. Bukan hubungan yang transaksional, sekaku hubungan antara penjual dan pembeli, antara penyedia dan pengguna jasa. Mungkin saya salah, tetapi begitulah yang saya pahami.
Epilog: Hmm.. aku ini seperempat dokter apa seperdelapan, atau...?

Kata-kata yang Menyembuhkan


Pengisah Cinta. Dunia pengobatan sedang berjalan kpada asalnya, yakni pengobatan yang holistik, yang menyembuhkan manusia sebagai insan yang utuh, tidak terbelah-belah. Manusia modern yang terpecah antara jasad material dengan ruhani yang spiritual akhirnya menemukan momentum untuk menyatukan kedua sisi ini, setelah berabad penjarakan yang menyiksa. Pun dunia kedokteran, harus mulai membuat dunianya lebih utuh, memandang manusia bukan lagi seonggok jasad wadag dengan instrumen organ, jaringan dan sel yang hidup karena aktifitas kelistrikan yang fisikal, enzim dan hormon yang kimiawi semata. Lihatlah lebih utuh, bahwa manusia adalah sesuatu yang hebat yang dikaruniai Allah jasad, ruh dan akal.
Salah satu kecenderungan baik ini saya lihat dalam tulisan Larry Dossey,MD seorang dokter Amerika yang sedang mengembangkan perspektif kedokteran yang lebih luas dari sekedar kamar operasi dan kapsul farmasi. Seperti pada umumnya dokter yang mengenyam pendidikan kedokteran sekuler, pada awalnya ia menganggap bahwa doa tak ubahnya tahayul. namun setelah berpuluh tahun praktik dan meneliti, ia tiba pada sebuah kesimpulan yang mengubah pandangannya itu, bahwa secara ilmiah doa memiliki kekuatan menyembuhkan. Ia kemudian menulis buku yang terkenal itu: "The Healing Words" (Kata-kata yang Menyembuhkan) yang pada kata pengantarnya ia katakan bahwa dengan memasukkan seni penyembuhan yang memperhatikan segi spiritual ke dalam dunia kedokteran, buku ini akan membuka jalan menuju suatu ilmu kedokteran yang lebih efektif dan manusiawi.
Boleh saja kalangan dokter yang lain meremehkan statemen ini, dengan berpendapat bahwa penelitian -penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan manfaat doa itu metodologinya payah, rancangan dan pengamatannya jelek sehingga hasilnya pun ecek-ecek. Tapi coba simak dulu fakta ini: Hingga tahun 1993 para peneliti telah melakukan studi terkontrol sebanyak 131 bahkan dengan rancangan penelitian terakurat: Double Blind Randomized Control Trial. Lima puluh enam kajian ini memperlihatkan hasil-hasil yang signifikan secara statistik pada p<0,01>, sedangkan 21 studi memperlihatkan signifikansi p<0,05. Percobaan ini terkait dengan pengaruh doa terhadap enzim, ragi, bakteri, tumbuhan dan hewan serta manusia. Apabila masih dipertanyakan kualitasnya, maka harap dicatat: 10 di antaranya adalah disertasi doktoral, 2 tesis magister dan sisanya terpublikasi dalam berbagai jurnal kedokteran ternama.
Masaru Emoto dalam bukunya The True Power of Water membuktikan sekali lagi secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan betapa kata-kata yang baik mampu merubah bentuk molekul air yang semula berantakan menjadi kristal hexagonal yang indah, dan sebaliknya kata-kata negatif membuat bentuk yang buruk. Secara hipotetik sangat mungkin tubuh manusia yang antara 80 - 90 % nya adalah air memilki respon terhadap kata-kata. Dan kita sangat berhak untuk membuktikannya.
Agaknya para dokter harus membuka mata dan memberikan ruang bagi doa untuk menyembuhkan pasiennya. Jadi, tak usah segan untuk mendoakan pasien dan yang lebih penting adalah memotivasi pasien untuk mengerahkan kekayaan penyembuhan yang telah ia miliki, ialah do'a.
Berilah senyum yang menyembuhkan, dan kata-kata yang menyembuhkan. Sebuah wajah dari cinta. Wallahu a'lam.

Sepotong Cinta dari Merapi


"Mas, assalamu'alaikum! Teman Mas namanya Yuda meninggal di Siteba krn kecelakaan. Istrinya tadi ngasih kabar n ninggalin telp 0813xxxxxxx" Tulisan di layar ponsel itu cukup mengagetkan saya. Yuda? Segera saya reply dengan pertanyaan balik,"Yuda siapa Doel? Perasaan mas nggak punya teman nama Yuda?" sambil otak saya bekerja mengaduk-aduk file benak, mencari entri Yuda, semoga Doel si pengirim, sms tadi bisa membantu mengeluarkan saya dari rasa bingung. Dan tak lama kemudian, biip! SMS balasan dari Padang itu tiba dan dengan segera saya membukanya. Percuma, dia tidak tahu juga siapa Yuda. Info yang Doel terima hanya dua baris yang telah ia setor via sms tadi. Yuda? Teman kuliah? Tidaka ada. Adik kelas? Kalau Yoga ada dua, tapi Yuda? Apa teman KKN dulu, rasanya tidak juga. Teman di organisasi tingkat universitas koki rasanya juga tidak ada yang bernama itu. Begitulah sejak menerima sms tadi sore sampai lepas isya ini saya masih sibuk dengan pertanyaan tentang Yuda. Dan kabar kematiannya tentu. Tetapi kenapa sampai harus memberi tahu saya yang sudah ada di Jakrta dan secara sepihak sedang kebingungan mengingat-ingatnya? Artinya saya cukup dekatlah dengan Yuda karena alasan ini. Akhirnya saya putuskan untuk menghubungi nomer HP istrinya tadi. Untuk menghindari rasa tidak enak saya mengaku banyak teman bernama Yuda, jadi dengan mohon maaf saya bertanya Yuda yang mana. "Aslm. saya Hasto, dapat kabar sdr Yuda tlh meninggal. Maaf Yuda yg mana ya, sebab sayaada bbrp teman nama Yuda?" Tak berapa lama kemudia datang balasan, "Wa'alikum salam. Yudha, teman Mas mendaki gunung. Adik ipar da Anto, kuliah di UBH Arsitektur. saya Dinda, istri Yudha." Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Yudha itu kah? Benar namanya Yudha, baru saja sore tadisaya sedangmelihat-lihat foto semasa mendaki Gunung Merapi, Sumatera Barat 1 1/2 tahun yang lalu. kami waktu itu berlima: saya, Anto teman kuliah, dan adik ipar Anto beserta dua temannya. ya saya ingat sekarang. Mungkin saya sudah pelupa, sehingga sewaktu melihat foto tadi saya malah bertanya-tanya mengingat nama seorang pemuda tampan berbadan tegap dengan rambut ikal agak panjang yang berpose di sebelah saya di puncak Merapi itu. Saya cuma ingat, dia adik ipar Anto. Tidak ada hubungan dekat antara saya dengan Yuda. Siang itu tanggal 2 Maret 202 kami bertemu untuk mendaki gunung Merapi, anto memperkenalkan saya kepada almarhum sebagai temannya. Selanjutnya tidak ada yang cukup spesial untuk mengukir kesan tertentu. Sepanjang perjalanan ke Bukittinggi sebagai posko umum pendaki maupun dalam pendakian meniti tebing-tebing curam menuu kawah lewat tengah malam kami isi dengan obrolan ringan dan basa-basi biasa, saya bahkan tidak mengenal apa hobby dan cita-citanya, atau bertukan pikiran tentang sesuatu yang dalam. Semua kalah oleh konsentrasi kami kepada terjalnya medan dan gelapnya malam. Waktu yang sangat singkat untuk mengenal dekat sebuah pribadi, hanya satu hari dalam pendakian. Bertukar nomor HP untuk komunikasi lebih lanjtpun tak kami lakukanm. hanya satu kalimat yang masih saya ingat sampai kini, "Mas, kalau nanti mau naik gunung lagi, ajak-ajak ya!" tuturnya sambil berjabat tangan erat ketika kami akan berpisah sepulang pendakian. Kini sudah lewat 1 1/2 tahun. bahkan saya tak ingat lagi namanya. bahkan saya tidak tahu kalau ia telah beristri. Saya telah larut dalam aktivitas yang lain, dalam kesibukan lain. da rasa bersalah melupakan seorang teman, walau hanya dari sekali pertemuan, karena ia tak melupakan saya. Tapi pertanyaan saya adalah apa yang membuat ia mengingatku, sampai-sampai istrinya tahu tentang saya? Tentu saja saya tidak kenal siapa istri Yudha. Dan pertanyaan itu terjawab, ketika sebuah sms kembali datang tanpa saya tanya. "Almarhum sering cerita tentang Mas Hasto. Dia kangen dan terkesan dengan Mas, makanya saya pikir mas perlu tahu tentang kabar ini. saya sendiri pernah tahu Mas Hasto waktu ada acara PK di Sijunjung (99). Jazaakallah.." Subhannallah... Ada rasa terharu, sedih dan sedikit bahagia membaca sms terakhir ini. Terharu, karena Yuda ternyata sering cerita tentang saya. Sedih karena saya justru tak sempat mengenalnya lebih jauh bahkan tak sempat menghadiri pernikahannya. bahagia, karena ia memiliki istri sholehah yang mengerti arti persahabatan dan silaturrahim. Dan bahagia sekali lagi, bahwa ada orang yang mengenang saya walau hanya dari perkenalan sehari.
Saya berprasangka baik, bahwa mungkin yang membuatnya terkesan adalah bahwa saya selalu berusaha sholat 5 waktu dalam perjalanan betapapun letih dan sulitnya medan. Itu saja. Maka saya ingin menuliskan beberapa kata untuk Yudha: "Untukmu sahabat, semoga engkau damai di sisi Allah yang menyayangimu. Semoga Allah hapus dosamu, meridhoi hidupmu yang singkat, memberimu bahagia yang kekal. Aku mungkin tak sebaik yang kau kenal, tetapi biarlah aku bangga dengan apa yang kau katakan. maafkan aku tak banyak mengenalmu, tapi aku percaya kebajikan ada pada dirimu..."
jakarta270404
"Hendaklah setiap orang yang bertemu denganmu merasakan atsar dari pertemuan denganmu" (Abbas As Sissy)

Ceruk Terdalam Negeriku



Pengisah Cinta
. Pernah mendengar nama Desa Bolda? Distrik Nalca? Kabupaten Yahukimo? Untuk nama yang terakhir pastinya pernah mendengar atau masih ingat sekilas karena nama ini pernah terkenal pada awal 2006 saat berhembus isu bencana kelaparan yang menewaskan puluhan warga Papua pedalaman di kabupaten baru hasil pemekaran wilayah Jayawijaya. 'Bencana' yanga sarat muatan politis ini kemudian membuat Presiden SBY mengeluarkan Keppres membentuk Tim interdepartemen untuk menangani bencana rawan pangan kabupaten Yahukimo yang dikomandani Rizal Mallarangeng. Yim ini bekerja efektif sejak januari sampai Agustus 2006. Saya dan beberapa teman Brigade Siaga Bencana dari seluruh Indonesia termasuk dalam tim kesehatan yang masuk langsung ke jantung pedalaman Yahukimo.
Bolda adalah sebuah desa kecil di sebuah bukit, yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki melewati ngarai dan bukit selama 3-4 jam dari Nalca. Distrik Nalca (3500m dpl) sendiri terletak di barat laut Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya yang hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis cessna atau pilatus porter yangberkapasitas 800kg setelah terbang sekitar 35 menit. Oya, meskipun pesawat bisa mendarat jangan bayangkan ada bandara, yang ada hanyalah sebidang tanah lapangan keras sepanjang sekitar 200 meter yang berfungsi sebagai landasan pacu-darat. Jalan darat tidak ada karena geografis yang sangat sulit, orang setempat mengatakan jarak tempuh dari Nalca ke Wamena via jalan darat 'cukup dekat' hanya jalan kaki sekitar 3-4 minggu melintasi puluhan bukit berhutan tropis! Yang disebut distrik di Papua pedalaman ini adalah sekelompok desa yang terpencar-pencar di bukit dan lembah dengan beberapa bahasa ibu yang berbeda. Dari atas helikopter atau pilatus rumah-rumah adat mereka (honai) menyerupai jamur merang yang tumbuh tersebar pada kelompok-kelompok kecil pada relif Pegunungan Tengah Papua yang begitu amazing. Saya terheran, bagaimana mereka membuat sebuah pilihan hidup begini ekstrim, bayangkan hidup tersaing di puncak bukit terjal, dingin, tanpa pakaian pula. Mereka sebagian masih telanjang. Kok bisa ya, saya saja siang hari kadang merasa perlu memakai jaket.
Hampir satu pekan sudah saya ngepos di Nalca, namun baru hari ini sempat 'jaulah' ke desa Bolda. Selama sepekan ini kalau tidak melayani pasien di puskesmas Nalca ya paling ke desa yang terdekat seperti Selendamek, atau Olsekla. Itu juga sudah pakai acara hiking, jadi acara kunjungan ke desa lain selalu menantang dan mengasyikkan.
Pagi itu jam 7 saya sudah siap dengan satu tas carrier yang saya sesaki dengan stok obat-obatan dan telur rebus untuk dibagi kepada anak-anak Bolda. Mantri Titus, Bidan Willy dan Nahom Nawak, tenaga PPL asli Nalca mendampingi saya di perjalanan ini. Pak Polisi Suparman standby di posko sambil memantau komunikasi dengan posko pusat Wamena via radio panggil.
Bismillah, kami berangkat. Nahom memanggul ransel yang cukup berat. Kecil-kecil kuat juga dia. Tanah pagi ini becek, soalnya tadi malam hujan turun. Jalan setapak yang basah dihiasi oleh kotoran babi dimana-mana, membuat saya terpaksa melompat kesana kemari menghindari najisah binti najisun berwarna hitam dan berbau aduhai itu. Asyik juga, saya jadi lincah dadakan, hehe.. Ketiga teman saya cengar-cengir melihat atraksi saya. Sepanjang perjalanan saya terkagum-kagum dengan pemandangan yang masih serba asli. Tebing cadas asli, hutan asli, pelangi asli, dan babi asli..bukan jadi-jadian hehe..
Sesekali kami beristirahat minum sambil foto-foto. Dan tak terasa satu setengah jam telah kami lalui sambil bercanda, membuat perjalanan terasa cepat. Setelah menyusuri hutan rumput setinggi 2 meteran kami sampai di pinggir sungai yang membatasi lembah Nalca dengan bukit Bolda. Sungai ini tak seberapa lebar, hanya sekitar 20 meter, namun airnya yang deras dan berbatu-batu besar seakan menyeringai, menantang kami. Tidak ada jembatan, yang ada hanya dua batang pohon sebesar paha yang direbahkan dan bertemu ditengah badan sungai. Batang kayu itu ditempelidahan-dahan yang lebih kecil yang dililitkan dengan rotan agar tidak terlalu licin. Namun hujan dan sisa-sisa tanah membuat kayu yang sebagian ditumbuhi lumut itu tetap saja licin. Ada pegangan sih, tapi buat saya tidak membantu karena hanya terbuat dari seutas rotan yang dipasang kendor. Menurut Titus, tadinya di sini ada sebuah jembatan yang cukup baik, namun setahun lalu dibakar saat ada perang suku antara Nalca dengan Bolda. Hmm..perang suku memang masih kerap terjadi pada peradaban Papua. Di Nalca setiap hari kaum lelaki menenteng busur dan anak panah, siap untuk bertempur kapan saja.
Saya menyeberang dengan takut-takut. Salah sedikit saya bisa jatuh dan dilumat sungai ganas, 5 meter di bawah sana. Keiga teman saya dengan mudahnya melalui 'jembatan' ini, tapi saya harus pakai acara jongkok jongkok untuk berpegangan ke batang kayu. Sekali lagi mereka cekikikan melihat aksi yang mereka pandang kolokan itu. Akhiornya nahom membantu satya dengan memegangi tangan saya agar lebih cepat. Wuih, alhamdulillah...
Lantas tak lama kemudian di belakang kami saya melihat pemandangan yang lebih membuat saya terbengong-bengong. Beberapa mama (ibu) berumur 50 tahuanan dengan badan yang terlihat rapuh memanggul ubi satu noken (tas jala terbuat dari serat kayu) penuh dan sebagian membawa anak balita di nokennya menyeberangi jembatan itu laksana lewat jalan biasa saja, tanpa kesulitan! Hebat benar wanita-wanita Papua ini.
Satu jam berikutnya adalah perjalanan mendaki bukit. Pemandangan mulai berganti dengan ladang-ladang umbi dan sayur yang sangat subur. Saya jadi heran, dari mana mereka dikatakan kelaparan?
Akhirnya kami sampai di puskesmas pembantu Bolda. Namanya saja pustu, namun yang ada hanya satu rumah kayu 3 bilik yang salah satu biliknya ditempati Mantri Nikolas dan keluarganya. Hanya inilah sarana yang ada. Lemari obat terlihat kusam dengan obat yang tidak tertata. Pengetahuan para mantri jangan ditanya dulu, karena mereka umumnya hanya penduduk biasa yang hanya bermodal mampu bicara dengan bahasa Indonesia kemudian dididik sekadarnya. Mungkin kalau di Jawa atau Sumatra sekelas kader desa. Sebagian mereka adalah hasil didikan missionaris Barat.
Kalau di Olsekla saya membuka pengobatan di dalam gereja, maka di Bolda ternyata lebih baik karena punya pustu meski seadanya. Tidak ada kursi, jadi pasiean yang jumlahnya sekitar 75 an siang itu menggelosoh di lantai pustu yang masih tanah (iyalah..mana ada semen). Mirip jaman Belanda menjajah Jawa dulu. rata -rata kotor karena tidak mani dan berganti pakaian. Sebagian sudah mengenakan baju meski kumal, namun masih banyak juga yang mengenakan pakain tradisional mereka (bagi kau lelaki: koteka, sejenis penutup batang kemaluan terbuat dari kulit labu yang dikeringkan dan bagi wanita: sali, semacam rok yang terbuat dari rumbia).
Mereka sudah menunggu sejak pagi. Begitu antusias mereka mendengar akan ada dokter yang mengunjungi Bolda. Oya sebelumnya Mantri Nikolas sudah mengumumkan lewat wesa (gereja) tentang kunjungan ini. Yang membuat saya terharu adalah ada seorang pasien tua yang ditandu dari kaki bukit demi berobat ke pustu. Ya Tuhan..
Ada rasa iba, melihat kondisi mereka walaupun kadang saya frustasi juga saat mencoba menganamnesa untuk mengetahui keluhan penyakit karena rata-rata tidak bisa mengerti bahasa saya. Nikolas dan Titus yang menjadi penterjemah tidak banyak membantu karena tetap tidak nyambung. Yang ditanya sakitnya sejak kapan jawabnya kemana-mana. Entah karena budaya bertutur mereka yang mungkin begitu atau dimana kesalahannya saya tidak tahu, sebab setahu saya Titus dan Nikolas berbahasa Indonesia dengan cukup baik.
Tidak banyak memang yang saya bisa lakukan di sana. Faktor fasilitas, waktu yang sebentar dan kekurangan saya sendiri membatasinya. Namun saya bersyukur, Allah beri kesempatan untuk ini. Untuk berlelah-lelah mendatangi mereka, saudara kita. Bukan saudara sesuku, bukan pula seagama tapi pastinya masih sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Sama-sama makhluk Allah...
Inilah satu ceruk terdalam di negeriku, walaupun bukan yang paling dalam. Masih banyak ceruk terdalam yang belum tersentuh sama sekali...

Pasien Hilang 7 Hari




Pengisah Cinta. Pasien kedua yang saya rujuk ke RS Mina Al Wadi namanya Pak Ali (80tahun). Pasca wukuf di Arafah, selepas maghrib rombongan berangkat ke Muzdalifah untuk mabit. Di lembah Muzdalifah saya bertemu dengan istri Pak Ali yang mengatakan suaminya mengalami sakit di bagian kaki, sehingga sulit berjalan. Keluhan yang lain tidak ada. Saya meminta perawat memberi piroxicam plus antasida dengan catatan diminum setelah makan.
Sesudah itu saya tak melihatnya lagi, maklum saja di Muzdalifah ratusan ribu manusia duduk bersama dalam suasana temaram, dan tanpa batas teritori yang jelas. Sampai di Mina setelah melontar jumrah dan tahalul awal, ketika setelah maghrib saya melakukan ronde ke jamaah kloter saya, istri Pak Ali memanggil saya, "Pak Dokter, Pak Haji tidak bisa bangun. Tadi siang katanya perutnya sakit sekali..". Pak Ali berangkat haji untuk ketiga kalinya, sehingga istri mudanya ini sudah biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Haji.
Ya Allah, saat saya lihat senja itu ternyata Pak Ali sudah sangat pucat. Tangan dan kakinya dingin. Nadinya kecil dan perutnya sangat tegang. Tidak ada BAB mencret atau berdarah kehitaman. Riwayat status jantung paru tidak banyak yang macam-macam.Tapi segera saja saya menduga telah terjadi perdarahan: Perforasi saluran cernakah? Piroxicam itu!
"Obat tadi malam diminum, Bu?"
"Pak Haji minum obat rematiknya."
"Tapi makan nasi, nggak?"
"Itulah, dia nggak mau makan nasi, Pak Dokter. Tapi karena sakit kakinya nggak ketulungan obatnya diminum."
MaasyaaAllah, kenapa jadi begini. Lambung Pak Ali yang sudah rapuh termakan umur pastilah lumat digerus AINS seperti piroxicam. Ditambah stres perjalanan yang melelahkan plus lambung yang selalu kosong... Segera Bu Betty perawat kami memasang infus RL dan saya minta ketua kloter menghubungi maktab untuk meminta ambulance. Pasien ini harus segera diselamatkan.
Sesampai di RS Mina al Wadi saya hanya bisa sampai UGD, selanjutnya diambil alih penuh oleh pihak RS. Memang di sana begitu, bahkan keluarga tidak diperkenankan menunggu walaupun Pak Rauf sebagai ketua rombongan sudah melobi RS agar istrinya bisa menunggui Pak Ali. Ya sudah, yang penting data sudah lengkap didaftarkan, gelang perak identitas haji juga terpasang di tangan.
Hari terakhir di Mina, setelah tahalul akhir sebelum kembali ke Makkah saya dan Pak rauf mengecek keadaan Pak Ali di RS Mina. Ternyata Pak Ali dipindahkan ke RS An Nur, sebuah RS terbaik di Makkah. Maka setelah di Makkah, kamipun membezoeknya ke RS An Nur tersebut. Tetapi, disinilah mulainya, kata pihak admission RS An Nur, Pak Ali dikirim ke RS di Jeddah karena semua RS di Makkah tak mampu lagi menampung pasien pasca episode Arafah-Mina. Memang dari rangkaian ibadah haji, inilah yang dirasa terberat bagi fisik, tak heran korban sakit dan meninggal kebanyakan waktu-waktu inilah. Ia menyodorkan alamat RS tempat Pak Ali dirujuk: Al Athba' al Muttahiddun, beserta nomor telepon.
Tiga hari sudah Pak Ali tidak tentu keberadaannyakarena ternyata nomer telepon yang diberikan RS tidak bisa dihubungi. Kamipun meminta Tim Surveillans daker Jeddah untuk melacak Pak Ali dan RS Athba' al Muttahidun. Kamipun rajin menanyakan ke BPHI dan sub BPHI untuk mengetahui apakah ada kabar tentangnya. Saya sangat resah karena ada satu jamaah yang hilang. Istri pak Ali setiap hari menangis, wajahnya selalu sedih. Anak-anak dari istri tua Pak Ali di Jakarta menyalahkan si ibu ini. Persoalan keluarga menjadi semakin runyam.
Genap 5 hari setelah Pak Ali hilang belum juga ada kabar dari tim surveilans yang mengaku sudah menyisir seluruh RS di Jeddah: nama RS Athba' al Muttahidun tidak ada di kota Jeddah. Duh, apa pula ini? Salah sebutkah? Tapi tulisan itu begitu jelas, tidak mungkin ngarang. Apakah pak Ali di kota lain? Madinah? Riyadh? Pikiran kami semakin tak tentu.
Salah Orang
Secara rutin kami tim pendamping kloter melapor dan berkoordinasi ke Wisma Haji, semacam markas besar haji Indonesia di Aziziyah, Makkah. Di sanalah terdapat Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) sebagai sarana kesehatan pusat haji Indonesia yang ada di Makkah. Di sana pula pula tim surveilans bermarkas. Di sana pula segala masalah, termasuk jenazah haji tak bertuan asal Indonesia coba diakomodir. Suatu siang saya melihat poster: Keluarga siapakah ini? dan dibawahnya tertera wajah yang menurut saya sangat mirip wajah pak Ali.
Saya yang pikirannya sudah sangat ingin masalah ini jelas segera mengambil kesimpulan: Pak Ali telah ditemukan di BPHI! saya segera menghubungi keluarga Pak Ali dan kepala rombongannya. Istri Pak Ali dan anaknya Riki serta Pak Rauf datang 1 jam kemudian. Begitu melihat poster yang dipampang di papan pengumuman tersebut, serentak ibu dan anak tersebut menangis berpelukan. Sedih sekali tentunya, padahal mereka belum melihat langsung jenazah Pak Ali.
Harapan Baru,Kebingungan Baru
Sesuatu terjadi manakala kami bersama menlihat ke dalam kamar jenazah. Setelah diseksamai ternyata dia bukan Pak Ali. Istrinya memastikan itu. Pak Ali lebih tua dan lebih sedikit lebih tinggi. Astaghfirullah, salahku... Jadi di mana pak Ali? Masih hidupkah?
Kegalauan belum beranjak dari benak kami...
Tepat hari ketujuh, rombongan KBIH pimpinan Pak Rauf sesuai rencana akan tour ke Jeddah. Tidak lupa Pak Rauf mengajak saya, Pak Hasan dan Pak Uung serta dalam rombongan sekalian kalau sempat mencari Pak Ali.
Begitulah, setelah 2 jam perjalanan kami memasuki kota Jeddah. Dan di tepi jalan yang kami lalui tak jauh dari Taman Raja berdiri sebuah rumah sakit megah bertajuk UNITED DOCTORS, sebuah rumah sakit swasta kelas internasional. Iseng-iseng ada seorang jamaah berujar ,"Jangan-jangan ini, United Doctors kan bahasa Arabnya mungkin Athba al Muttahidun..."
Jreengg...benar sekali! United Doctors...Al Athba' al Muttahidun! Subhannallah... setelah dilihat dengan jeli di bawah tulisan United Doctors tertulis dengan aksara Arab kecil: al athba' al muttahidun!
Segera bus kami parkir. Kami segera mendatangi bagian informasi dan.. benar saja. pak Ali ada di sana. sayang, seperti yang saya duga, ia sudah tiada. Pada jasadnya terdapat bekas sodetan lebat di perut: jejak laparotomi. Barangkali benar, seperti perkiraan saya juga para dokter disini menemukan adanya perdarahan internal yang harus diselesaikan dengan operasi. barangkali memang keadaan pak Ali sudah kasip, dan usianya tidak menopang untuk keadaan seperti ini...
Penutup
Seorang ibu, anggota rombongan itu bertanya, "Bagaimana Dok, pak Ali masih sakit?"
Saya hanya diam. saya biarkan pemandu tour kami, seorang mukimin asal Madura menjawab, "Tidak Bu. pak Ali tidak sakit lagi."
"Sudah bisa ngomong?"
"Ndak bisa ngomong, Bu..."
"Apa dia bisa pulang bersama kita?.."
"Kita semua pulang Bu. Tapi Pak Ali duluan..."
Jawaban sang pemandu ini benar, tidak membohongi. Saya masih ingat sampai sekarang.
Mata saya menerawang di langit malam kota Jeddah.
Rabbana..., kepadaMu kami semua kan pulang...

Anda Dokter?



Mina, Dzulhijjah 1428
Ini cerita tentang adu tampang antara seorang dokter dengan seorang satpam.
Malam itu saya mendatangi Mustasyfa Mina Al Wadi, sebuah rumah sakit musiman yang diperuntukkan bagi jamaah haji yang sedang mabit di Mina. Meskipun judulnya rumah sakit musiman tapi bangunannya permanen dan fasilitasnya wiss pokoke saya belum pernah lihat di Indonesia RS dengan bangunan greng dengan fasilitas yang sangat lengkap. Bayangkan UGDnya saja bener-bener Ugede (kalo di kita namanya ugede tapi ukecil-ukecil ya?). Setiap pasien yang masuk akan langsung di triage dan masuk ke satu petak khusus dengan set periksa yang lengkap plus perawat yang siap mengasses dengan cepat. Emergency trolley tak absen di tempat yang mudah diakses kapan saja.
Nah malam itu saya mengantar satu pasien yang jatuh syok dan sangat anemis dengan abdomen yang sangat tegang dan nyeri. Agaknya internal bleeding. Sekalian mau lihat pasien satu lagi yang aku kirim tadi siang dengan Old Pneumonia. Nah sampai di lobi UGD saya bertemu dengan seorang berseragam sekuriti. Segera saya bertanya bolehkah saya masuk, dengan memperkenalkan diri sebagai dokter. Keadaan saya malam itu memang ndak tampang dokter babar blas. bayangkan begini: Kurus, kepala botak (siangnya habis tahalul), pakai kaos oblong, celana cingkrang semata kaki, sandal jepit harga 4 real. Satu-satunya yang nantinya menopang tampang serampang ini hanyalah jaket seragam TKHI bertuliskan nama saya.
Apa yang terjadi? Satpam yang berwajah imut dan berbadan gendut mirip badut (dah berapa dut yah..?) itu tidak percaya.
Katanya,"Anta daktur? Preett!..." (kamu dokter? pret!..), sambil menjebirkan bibir dan melengos. Pokoke lawak banget. Aku jadi kesal juga dibegitukan. Persisnya, kesel, campur geli ngelihat wajahnya yang mengepretttkan saya. Agaknya bibirnya itu memang sengaja didesain sejak lahir khusus untuk adegan malam ini. Adegan pengepretttan seorang dokter Indonesia.
"Na'am. Ana daktur. Iqra!" saya meyakinkannya sambil menunjuk emblem di jaket yang saya kenakan. Ane fanas nih, lagi cafek gini anta malah ngeledek...
Balas saya, "Anta satfam? Masya Allah.." Dianya cuma bengong: Satfam? afa fula satfam tu?
Lah iya kalo penampilanku gak meyakinkan sebagai dokter, apa dia cukup layak untuk berpenampilan satpam? Jujur nih, kalo ada jurinya malam itu untuk menentukan siapa, apakah saya cukup pantas jadi dokter, apa dia cukup layak jadi satpam, pasti akan memenangkan saya telak.Asal jangan dibalik, bisa-bisa aku yang menang tipis sebab kepalaku botak. Lah satpam kok ra nggegirisi babar blas! Lucu malah... Lha orang aku kalo ingat dia malah jadi inget teletubies kok, swerrr!
Akhirnya setelah ngomong-ngomong gak nyambung (lah dia pake bahasa Arab saya pake bahasa Inggris Depok ya kapan nyambungnya) saya melihat ada Pak Dokter Arab beneran lewat. Segera aku lari ke arahnya dan sok akrab. Plok'en pentunganmu satpam, batinku. Memang beda banget dokter musafir dari tanah Jawa ini dengan dokter impor asli Arab ini. Dia tinggi gendut, jenggotnya rindang, pake kaca mata tebal dan pake jas dokter putih selutut. Beda banget sama saya yang kaya anak ilang ini...
Mungkin karena sama -sama dokter, kami ngomongnya nyambung. Atau paling nggak yang bisa disambung-sambungkan. Dan Pak Dokter Arab mengijinkan saya masuk mengantar dan menengok pasien saya.
Sambil berjalan ke dalam, sekali lagi saya menoleh ke De' Satpam (dari wajahnya sih umurnya belasan tahun lah) tadi sambil meyakinkan pandangan mata sendiri: Itu tadi satpam apa teletubbies ya? Hehehe... afwan jiddan ya akhie satpam di Mina. Becanda..

Dehidrasi

Seorang pasien dehidrasi, selesai diperiksa dokter. Kemudian terjadilah dialog berikut:
Dokter : Nah, Pak.. Ini saya kasih obat tiga macam. Pil yang kuning ini diminum tiga kali sehari pakai air satu gelas.
Pasien : Ya pak Dokter
Dokter : Nah yang putih ini juga tiga kali sehari diminum dengan air masing-masing dua gelas
Pasien : Dua gelas ya Dok.. Nggih..
Dokter : Yang kecil biru ini pake air empat gelas , cukup sekali sehari.
Pasien : Banyak banget Dok, betewe saya sakit apa ya Dok?
Dokter: Ah nggak apa-apa, cuma kekurangan cairan saja. Kurang minum...

Evi Tamala Pingsan

Sudah lama kejadiannya. Saat itu saya masih jaga di klinik 24 jam di Caringin, Sukabumi. Kira-kira jam 10 malam, seorang pasien digotong masuk ke klinik. Seorang ibu muda berusia kurang lebih 28 tahunan. Tidak sadar, setelah mobil angkot yang ia tumpangi menabrak kendaraan didepannya. Korban lain tidak ada, hanya ibu ini yang memang duduk di muka, di samping pak supir yang sedang bekerja (kaya lagu naik delman ya?)
Setelah dibaringkan di bed periksa dan terpasang O2 kanul 3 liter, saya memeriksa si ibu, yang mirip Evi Tamala, penyanyi dangdut dokter cinta itu. Dari aloanamnesa dengan penumpang lain yang mengantarnya, saya menyimpulkan tabrakan tidak keras dan tidak mengenai langsung bagian tubuh si ibu. Pemeriksaan fisik juga tidak memperlihatkan jejas cedera ataupun tanda lain yang mencurigakan. Tanda vital semua OK, hanya si ibu belum juga membuka mata atau merespon rangsangan, termasuk rangsang nyeri yang saya berikan. Ya sudah saya observasi dulu sambil terus berusaha membangunkan atau membuat si ibu sadar.
Sampai hampir setengah jam kemudian ternyata si ibu Tamala ini belum juga sadar. Waduh, bingung juga saya. Pikiran saya mulai tidak tentu dengan banyak lintasan kata jangan-jangan... Jangan-jangan..
Pas di saat itu datanglah ide yang agak konyol. say dengan suara ditegas-tegaskan minta suster mengambil spuit (suntikan) dan walau tidak jelas betul si ibu ini dengar atau tidak saya katakan kepadanya, "Bu, saya suntik ya?" sambil melintas-lintaskan suntikan di depan matanya.
Ajaib! Laksana adegan artis bangun dari mimpi buruk di sinetron-sinetron (tergambar kan?), mak jenggirat Bu Evi Tamala ini bangkit dan menangis!...
Kamipun lega, mengakhiri scene adegan histerical reaction (malingering) ini.
Pengalaman berharga ini kelak terbukti sukses saya terapkan untuk kasus serupa. Boleh dicoba kok...