Sepotong Cinta dari Merapi


"Mas, assalamu'alaikum! Teman Mas namanya Yuda meninggal di Siteba krn kecelakaan. Istrinya tadi ngasih kabar n ninggalin telp 0813xxxxxxx" Tulisan di layar ponsel itu cukup mengagetkan saya. Yuda? Segera saya reply dengan pertanyaan balik,"Yuda siapa Doel? Perasaan mas nggak punya teman nama Yuda?" sambil otak saya bekerja mengaduk-aduk file benak, mencari entri Yuda, semoga Doel si pengirim, sms tadi bisa membantu mengeluarkan saya dari rasa bingung. Dan tak lama kemudian, biip! SMS balasan dari Padang itu tiba dan dengan segera saya membukanya. Percuma, dia tidak tahu juga siapa Yuda. Info yang Doel terima hanya dua baris yang telah ia setor via sms tadi. Yuda? Teman kuliah? Tidaka ada. Adik kelas? Kalau Yoga ada dua, tapi Yuda? Apa teman KKN dulu, rasanya tidak juga. Teman di organisasi tingkat universitas koki rasanya juga tidak ada yang bernama itu. Begitulah sejak menerima sms tadi sore sampai lepas isya ini saya masih sibuk dengan pertanyaan tentang Yuda. Dan kabar kematiannya tentu. Tetapi kenapa sampai harus memberi tahu saya yang sudah ada di Jakrta dan secara sepihak sedang kebingungan mengingat-ingatnya? Artinya saya cukup dekatlah dengan Yuda karena alasan ini. Akhirnya saya putuskan untuk menghubungi nomer HP istrinya tadi. Untuk menghindari rasa tidak enak saya mengaku banyak teman bernama Yuda, jadi dengan mohon maaf saya bertanya Yuda yang mana. "Aslm. saya Hasto, dapat kabar sdr Yuda tlh meninggal. Maaf Yuda yg mana ya, sebab sayaada bbrp teman nama Yuda?" Tak berapa lama kemudia datang balasan, "Wa'alikum salam. Yudha, teman Mas mendaki gunung. Adik ipar da Anto, kuliah di UBH Arsitektur. saya Dinda, istri Yudha." Innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Yudha itu kah? Benar namanya Yudha, baru saja sore tadisaya sedangmelihat-lihat foto semasa mendaki Gunung Merapi, Sumatera Barat 1 1/2 tahun yang lalu. kami waktu itu berlima: saya, Anto teman kuliah, dan adik ipar Anto beserta dua temannya. ya saya ingat sekarang. Mungkin saya sudah pelupa, sehingga sewaktu melihat foto tadi saya malah bertanya-tanya mengingat nama seorang pemuda tampan berbadan tegap dengan rambut ikal agak panjang yang berpose di sebelah saya di puncak Merapi itu. Saya cuma ingat, dia adik ipar Anto. Tidak ada hubungan dekat antara saya dengan Yuda. Siang itu tanggal 2 Maret 202 kami bertemu untuk mendaki gunung Merapi, anto memperkenalkan saya kepada almarhum sebagai temannya. Selanjutnya tidak ada yang cukup spesial untuk mengukir kesan tertentu. Sepanjang perjalanan ke Bukittinggi sebagai posko umum pendaki maupun dalam pendakian meniti tebing-tebing curam menuu kawah lewat tengah malam kami isi dengan obrolan ringan dan basa-basi biasa, saya bahkan tidak mengenal apa hobby dan cita-citanya, atau bertukan pikiran tentang sesuatu yang dalam. Semua kalah oleh konsentrasi kami kepada terjalnya medan dan gelapnya malam. Waktu yang sangat singkat untuk mengenal dekat sebuah pribadi, hanya satu hari dalam pendakian. Bertukar nomor HP untuk komunikasi lebih lanjtpun tak kami lakukanm. hanya satu kalimat yang masih saya ingat sampai kini, "Mas, kalau nanti mau naik gunung lagi, ajak-ajak ya!" tuturnya sambil berjabat tangan erat ketika kami akan berpisah sepulang pendakian. Kini sudah lewat 1 1/2 tahun. bahkan saya tak ingat lagi namanya. bahkan saya tidak tahu kalau ia telah beristri. Saya telah larut dalam aktivitas yang lain, dalam kesibukan lain. da rasa bersalah melupakan seorang teman, walau hanya dari sekali pertemuan, karena ia tak melupakan saya. Tapi pertanyaan saya adalah apa yang membuat ia mengingatku, sampai-sampai istrinya tahu tentang saya? Tentu saja saya tidak kenal siapa istri Yudha. Dan pertanyaan itu terjawab, ketika sebuah sms kembali datang tanpa saya tanya. "Almarhum sering cerita tentang Mas Hasto. Dia kangen dan terkesan dengan Mas, makanya saya pikir mas perlu tahu tentang kabar ini. saya sendiri pernah tahu Mas Hasto waktu ada acara PK di Sijunjung (99). Jazaakallah.." Subhannallah... Ada rasa terharu, sedih dan sedikit bahagia membaca sms terakhir ini. Terharu, karena Yuda ternyata sering cerita tentang saya. Sedih karena saya justru tak sempat mengenalnya lebih jauh bahkan tak sempat menghadiri pernikahannya. bahagia, karena ia memiliki istri sholehah yang mengerti arti persahabatan dan silaturrahim. Dan bahagia sekali lagi, bahwa ada orang yang mengenang saya walau hanya dari perkenalan sehari.
Saya berprasangka baik, bahwa mungkin yang membuatnya terkesan adalah bahwa saya selalu berusaha sholat 5 waktu dalam perjalanan betapapun letih dan sulitnya medan. Itu saja. Maka saya ingin menuliskan beberapa kata untuk Yudha: "Untukmu sahabat, semoga engkau damai di sisi Allah yang menyayangimu. Semoga Allah hapus dosamu, meridhoi hidupmu yang singkat, memberimu bahagia yang kekal. Aku mungkin tak sebaik yang kau kenal, tetapi biarlah aku bangga dengan apa yang kau katakan. maafkan aku tak banyak mengenalmu, tapi aku percaya kebajikan ada pada dirimu..."
jakarta270404
"Hendaklah setiap orang yang bertemu denganmu merasakan atsar dari pertemuan denganmu" (Abbas As Sissy)

Ceruk Terdalam Negeriku



Pengisah Cinta
. Pernah mendengar nama Desa Bolda? Distrik Nalca? Kabupaten Yahukimo? Untuk nama yang terakhir pastinya pernah mendengar atau masih ingat sekilas karena nama ini pernah terkenal pada awal 2006 saat berhembus isu bencana kelaparan yang menewaskan puluhan warga Papua pedalaman di kabupaten baru hasil pemekaran wilayah Jayawijaya. 'Bencana' yanga sarat muatan politis ini kemudian membuat Presiden SBY mengeluarkan Keppres membentuk Tim interdepartemen untuk menangani bencana rawan pangan kabupaten Yahukimo yang dikomandani Rizal Mallarangeng. Yim ini bekerja efektif sejak januari sampai Agustus 2006. Saya dan beberapa teman Brigade Siaga Bencana dari seluruh Indonesia termasuk dalam tim kesehatan yang masuk langsung ke jantung pedalaman Yahukimo.
Bolda adalah sebuah desa kecil di sebuah bukit, yang hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki melewati ngarai dan bukit selama 3-4 jam dari Nalca. Distrik Nalca (3500m dpl) sendiri terletak di barat laut Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya yang hanya bisa dicapai dengan pesawat kecil jenis cessna atau pilatus porter yangberkapasitas 800kg setelah terbang sekitar 35 menit. Oya, meskipun pesawat bisa mendarat jangan bayangkan ada bandara, yang ada hanyalah sebidang tanah lapangan keras sepanjang sekitar 200 meter yang berfungsi sebagai landasan pacu-darat. Jalan darat tidak ada karena geografis yang sangat sulit, orang setempat mengatakan jarak tempuh dari Nalca ke Wamena via jalan darat 'cukup dekat' hanya jalan kaki sekitar 3-4 minggu melintasi puluhan bukit berhutan tropis! Yang disebut distrik di Papua pedalaman ini adalah sekelompok desa yang terpencar-pencar di bukit dan lembah dengan beberapa bahasa ibu yang berbeda. Dari atas helikopter atau pilatus rumah-rumah adat mereka (honai) menyerupai jamur merang yang tumbuh tersebar pada kelompok-kelompok kecil pada relif Pegunungan Tengah Papua yang begitu amazing. Saya terheran, bagaimana mereka membuat sebuah pilihan hidup begini ekstrim, bayangkan hidup tersaing di puncak bukit terjal, dingin, tanpa pakaian pula. Mereka sebagian masih telanjang. Kok bisa ya, saya saja siang hari kadang merasa perlu memakai jaket.
Hampir satu pekan sudah saya ngepos di Nalca, namun baru hari ini sempat 'jaulah' ke desa Bolda. Selama sepekan ini kalau tidak melayani pasien di puskesmas Nalca ya paling ke desa yang terdekat seperti Selendamek, atau Olsekla. Itu juga sudah pakai acara hiking, jadi acara kunjungan ke desa lain selalu menantang dan mengasyikkan.
Pagi itu jam 7 saya sudah siap dengan satu tas carrier yang saya sesaki dengan stok obat-obatan dan telur rebus untuk dibagi kepada anak-anak Bolda. Mantri Titus, Bidan Willy dan Nahom Nawak, tenaga PPL asli Nalca mendampingi saya di perjalanan ini. Pak Polisi Suparman standby di posko sambil memantau komunikasi dengan posko pusat Wamena via radio panggil.
Bismillah, kami berangkat. Nahom memanggul ransel yang cukup berat. Kecil-kecil kuat juga dia. Tanah pagi ini becek, soalnya tadi malam hujan turun. Jalan setapak yang basah dihiasi oleh kotoran babi dimana-mana, membuat saya terpaksa melompat kesana kemari menghindari najisah binti najisun berwarna hitam dan berbau aduhai itu. Asyik juga, saya jadi lincah dadakan, hehe.. Ketiga teman saya cengar-cengir melihat atraksi saya. Sepanjang perjalanan saya terkagum-kagum dengan pemandangan yang masih serba asli. Tebing cadas asli, hutan asli, pelangi asli, dan babi asli..bukan jadi-jadian hehe..
Sesekali kami beristirahat minum sambil foto-foto. Dan tak terasa satu setengah jam telah kami lalui sambil bercanda, membuat perjalanan terasa cepat. Setelah menyusuri hutan rumput setinggi 2 meteran kami sampai di pinggir sungai yang membatasi lembah Nalca dengan bukit Bolda. Sungai ini tak seberapa lebar, hanya sekitar 20 meter, namun airnya yang deras dan berbatu-batu besar seakan menyeringai, menantang kami. Tidak ada jembatan, yang ada hanya dua batang pohon sebesar paha yang direbahkan dan bertemu ditengah badan sungai. Batang kayu itu ditempelidahan-dahan yang lebih kecil yang dililitkan dengan rotan agar tidak terlalu licin. Namun hujan dan sisa-sisa tanah membuat kayu yang sebagian ditumbuhi lumut itu tetap saja licin. Ada pegangan sih, tapi buat saya tidak membantu karena hanya terbuat dari seutas rotan yang dipasang kendor. Menurut Titus, tadinya di sini ada sebuah jembatan yang cukup baik, namun setahun lalu dibakar saat ada perang suku antara Nalca dengan Bolda. Hmm..perang suku memang masih kerap terjadi pada peradaban Papua. Di Nalca setiap hari kaum lelaki menenteng busur dan anak panah, siap untuk bertempur kapan saja.
Saya menyeberang dengan takut-takut. Salah sedikit saya bisa jatuh dan dilumat sungai ganas, 5 meter di bawah sana. Keiga teman saya dengan mudahnya melalui 'jembatan' ini, tapi saya harus pakai acara jongkok jongkok untuk berpegangan ke batang kayu. Sekali lagi mereka cekikikan melihat aksi yang mereka pandang kolokan itu. Akhiornya nahom membantu satya dengan memegangi tangan saya agar lebih cepat. Wuih, alhamdulillah...
Lantas tak lama kemudian di belakang kami saya melihat pemandangan yang lebih membuat saya terbengong-bengong. Beberapa mama (ibu) berumur 50 tahuanan dengan badan yang terlihat rapuh memanggul ubi satu noken (tas jala terbuat dari serat kayu) penuh dan sebagian membawa anak balita di nokennya menyeberangi jembatan itu laksana lewat jalan biasa saja, tanpa kesulitan! Hebat benar wanita-wanita Papua ini.
Satu jam berikutnya adalah perjalanan mendaki bukit. Pemandangan mulai berganti dengan ladang-ladang umbi dan sayur yang sangat subur. Saya jadi heran, dari mana mereka dikatakan kelaparan?
Akhirnya kami sampai di puskesmas pembantu Bolda. Namanya saja pustu, namun yang ada hanya satu rumah kayu 3 bilik yang salah satu biliknya ditempati Mantri Nikolas dan keluarganya. Hanya inilah sarana yang ada. Lemari obat terlihat kusam dengan obat yang tidak tertata. Pengetahuan para mantri jangan ditanya dulu, karena mereka umumnya hanya penduduk biasa yang hanya bermodal mampu bicara dengan bahasa Indonesia kemudian dididik sekadarnya. Mungkin kalau di Jawa atau Sumatra sekelas kader desa. Sebagian mereka adalah hasil didikan missionaris Barat.
Kalau di Olsekla saya membuka pengobatan di dalam gereja, maka di Bolda ternyata lebih baik karena punya pustu meski seadanya. Tidak ada kursi, jadi pasiean yang jumlahnya sekitar 75 an siang itu menggelosoh di lantai pustu yang masih tanah (iyalah..mana ada semen). Mirip jaman Belanda menjajah Jawa dulu. rata -rata kotor karena tidak mani dan berganti pakaian. Sebagian sudah mengenakan baju meski kumal, namun masih banyak juga yang mengenakan pakain tradisional mereka (bagi kau lelaki: koteka, sejenis penutup batang kemaluan terbuat dari kulit labu yang dikeringkan dan bagi wanita: sali, semacam rok yang terbuat dari rumbia).
Mereka sudah menunggu sejak pagi. Begitu antusias mereka mendengar akan ada dokter yang mengunjungi Bolda. Oya sebelumnya Mantri Nikolas sudah mengumumkan lewat wesa (gereja) tentang kunjungan ini. Yang membuat saya terharu adalah ada seorang pasien tua yang ditandu dari kaki bukit demi berobat ke pustu. Ya Tuhan..
Ada rasa iba, melihat kondisi mereka walaupun kadang saya frustasi juga saat mencoba menganamnesa untuk mengetahui keluhan penyakit karena rata-rata tidak bisa mengerti bahasa saya. Nikolas dan Titus yang menjadi penterjemah tidak banyak membantu karena tetap tidak nyambung. Yang ditanya sakitnya sejak kapan jawabnya kemana-mana. Entah karena budaya bertutur mereka yang mungkin begitu atau dimana kesalahannya saya tidak tahu, sebab setahu saya Titus dan Nikolas berbahasa Indonesia dengan cukup baik.
Tidak banyak memang yang saya bisa lakukan di sana. Faktor fasilitas, waktu yang sebentar dan kekurangan saya sendiri membatasinya. Namun saya bersyukur, Allah beri kesempatan untuk ini. Untuk berlelah-lelah mendatangi mereka, saudara kita. Bukan saudara sesuku, bukan pula seagama tapi pastinya masih sama-sama keturunan Adam dan Hawa. Sama-sama makhluk Allah...
Inilah satu ceruk terdalam di negeriku, walaupun bukan yang paling dalam. Masih banyak ceruk terdalam yang belum tersentuh sama sekali...

Pasien Hilang 7 Hari




Pengisah Cinta. Pasien kedua yang saya rujuk ke RS Mina Al Wadi namanya Pak Ali (80tahun). Pasca wukuf di Arafah, selepas maghrib rombongan berangkat ke Muzdalifah untuk mabit. Di lembah Muzdalifah saya bertemu dengan istri Pak Ali yang mengatakan suaminya mengalami sakit di bagian kaki, sehingga sulit berjalan. Keluhan yang lain tidak ada. Saya meminta perawat memberi piroxicam plus antasida dengan catatan diminum setelah makan.
Sesudah itu saya tak melihatnya lagi, maklum saja di Muzdalifah ratusan ribu manusia duduk bersama dalam suasana temaram, dan tanpa batas teritori yang jelas. Sampai di Mina setelah melontar jumrah dan tahalul awal, ketika setelah maghrib saya melakukan ronde ke jamaah kloter saya, istri Pak Ali memanggil saya, "Pak Dokter, Pak Haji tidak bisa bangun. Tadi siang katanya perutnya sakit sekali..". Pak Ali berangkat haji untuk ketiga kalinya, sehingga istri mudanya ini sudah biasa memanggilnya dengan sebutan Pak Haji.
Ya Allah, saat saya lihat senja itu ternyata Pak Ali sudah sangat pucat. Tangan dan kakinya dingin. Nadinya kecil dan perutnya sangat tegang. Tidak ada BAB mencret atau berdarah kehitaman. Riwayat status jantung paru tidak banyak yang macam-macam.Tapi segera saja saya menduga telah terjadi perdarahan: Perforasi saluran cernakah? Piroxicam itu!
"Obat tadi malam diminum, Bu?"
"Pak Haji minum obat rematiknya."
"Tapi makan nasi, nggak?"
"Itulah, dia nggak mau makan nasi, Pak Dokter. Tapi karena sakit kakinya nggak ketulungan obatnya diminum."
MaasyaaAllah, kenapa jadi begini. Lambung Pak Ali yang sudah rapuh termakan umur pastilah lumat digerus AINS seperti piroxicam. Ditambah stres perjalanan yang melelahkan plus lambung yang selalu kosong... Segera Bu Betty perawat kami memasang infus RL dan saya minta ketua kloter menghubungi maktab untuk meminta ambulance. Pasien ini harus segera diselamatkan.
Sesampai di RS Mina al Wadi saya hanya bisa sampai UGD, selanjutnya diambil alih penuh oleh pihak RS. Memang di sana begitu, bahkan keluarga tidak diperkenankan menunggu walaupun Pak Rauf sebagai ketua rombongan sudah melobi RS agar istrinya bisa menunggui Pak Ali. Ya sudah, yang penting data sudah lengkap didaftarkan, gelang perak identitas haji juga terpasang di tangan.
Hari terakhir di Mina, setelah tahalul akhir sebelum kembali ke Makkah saya dan Pak rauf mengecek keadaan Pak Ali di RS Mina. Ternyata Pak Ali dipindahkan ke RS An Nur, sebuah RS terbaik di Makkah. Maka setelah di Makkah, kamipun membezoeknya ke RS An Nur tersebut. Tetapi, disinilah mulainya, kata pihak admission RS An Nur, Pak Ali dikirim ke RS di Jeddah karena semua RS di Makkah tak mampu lagi menampung pasien pasca episode Arafah-Mina. Memang dari rangkaian ibadah haji, inilah yang dirasa terberat bagi fisik, tak heran korban sakit dan meninggal kebanyakan waktu-waktu inilah. Ia menyodorkan alamat RS tempat Pak Ali dirujuk: Al Athba' al Muttahiddun, beserta nomor telepon.
Tiga hari sudah Pak Ali tidak tentu keberadaannyakarena ternyata nomer telepon yang diberikan RS tidak bisa dihubungi. Kamipun meminta Tim Surveillans daker Jeddah untuk melacak Pak Ali dan RS Athba' al Muttahidun. Kamipun rajin menanyakan ke BPHI dan sub BPHI untuk mengetahui apakah ada kabar tentangnya. Saya sangat resah karena ada satu jamaah yang hilang. Istri pak Ali setiap hari menangis, wajahnya selalu sedih. Anak-anak dari istri tua Pak Ali di Jakarta menyalahkan si ibu ini. Persoalan keluarga menjadi semakin runyam.
Genap 5 hari setelah Pak Ali hilang belum juga ada kabar dari tim surveilans yang mengaku sudah menyisir seluruh RS di Jeddah: nama RS Athba' al Muttahidun tidak ada di kota Jeddah. Duh, apa pula ini? Salah sebutkah? Tapi tulisan itu begitu jelas, tidak mungkin ngarang. Apakah pak Ali di kota lain? Madinah? Riyadh? Pikiran kami semakin tak tentu.
Salah Orang
Secara rutin kami tim pendamping kloter melapor dan berkoordinasi ke Wisma Haji, semacam markas besar haji Indonesia di Aziziyah, Makkah. Di sanalah terdapat Balai Pengobatan Haji Indonesia (BPHI) sebagai sarana kesehatan pusat haji Indonesia yang ada di Makkah. Di sana pula pula tim surveilans bermarkas. Di sana pula segala masalah, termasuk jenazah haji tak bertuan asal Indonesia coba diakomodir. Suatu siang saya melihat poster: Keluarga siapakah ini? dan dibawahnya tertera wajah yang menurut saya sangat mirip wajah pak Ali.
Saya yang pikirannya sudah sangat ingin masalah ini jelas segera mengambil kesimpulan: Pak Ali telah ditemukan di BPHI! saya segera menghubungi keluarga Pak Ali dan kepala rombongannya. Istri Pak Ali dan anaknya Riki serta Pak Rauf datang 1 jam kemudian. Begitu melihat poster yang dipampang di papan pengumuman tersebut, serentak ibu dan anak tersebut menangis berpelukan. Sedih sekali tentunya, padahal mereka belum melihat langsung jenazah Pak Ali.
Harapan Baru,Kebingungan Baru
Sesuatu terjadi manakala kami bersama menlihat ke dalam kamar jenazah. Setelah diseksamai ternyata dia bukan Pak Ali. Istrinya memastikan itu. Pak Ali lebih tua dan lebih sedikit lebih tinggi. Astaghfirullah, salahku... Jadi di mana pak Ali? Masih hidupkah?
Kegalauan belum beranjak dari benak kami...
Tepat hari ketujuh, rombongan KBIH pimpinan Pak Rauf sesuai rencana akan tour ke Jeddah. Tidak lupa Pak Rauf mengajak saya, Pak Hasan dan Pak Uung serta dalam rombongan sekalian kalau sempat mencari Pak Ali.
Begitulah, setelah 2 jam perjalanan kami memasuki kota Jeddah. Dan di tepi jalan yang kami lalui tak jauh dari Taman Raja berdiri sebuah rumah sakit megah bertajuk UNITED DOCTORS, sebuah rumah sakit swasta kelas internasional. Iseng-iseng ada seorang jamaah berujar ,"Jangan-jangan ini, United Doctors kan bahasa Arabnya mungkin Athba al Muttahidun..."
Jreengg...benar sekali! United Doctors...Al Athba' al Muttahidun! Subhannallah... setelah dilihat dengan jeli di bawah tulisan United Doctors tertulis dengan aksara Arab kecil: al athba' al muttahidun!
Segera bus kami parkir. Kami segera mendatangi bagian informasi dan.. benar saja. pak Ali ada di sana. sayang, seperti yang saya duga, ia sudah tiada. Pada jasadnya terdapat bekas sodetan lebat di perut: jejak laparotomi. Barangkali benar, seperti perkiraan saya juga para dokter disini menemukan adanya perdarahan internal yang harus diselesaikan dengan operasi. barangkali memang keadaan pak Ali sudah kasip, dan usianya tidak menopang untuk keadaan seperti ini...
Penutup
Seorang ibu, anggota rombongan itu bertanya, "Bagaimana Dok, pak Ali masih sakit?"
Saya hanya diam. saya biarkan pemandu tour kami, seorang mukimin asal Madura menjawab, "Tidak Bu. pak Ali tidak sakit lagi."
"Sudah bisa ngomong?"
"Ndak bisa ngomong, Bu..."
"Apa dia bisa pulang bersama kita?.."
"Kita semua pulang Bu. Tapi Pak Ali duluan..."
Jawaban sang pemandu ini benar, tidak membohongi. Saya masih ingat sampai sekarang.
Mata saya menerawang di langit malam kota Jeddah.
Rabbana..., kepadaMu kami semua kan pulang...