Cinta itu Asa


Bu En terbaring lemah di bed. Infus terpasang di tangan kanannya, ia terlihat sesak yang karenanya sebuah kanul oksigen bertengger di lobang hidungnya. Dia letih, pucat dan sembab. Bu En adalah pasien Gagal Ginjal Kronik yang sudah tiga hari mondok di RSIAM Taman Puring. Perawat meminta Dokter Hasan untuk 'melihatnya' dan membujuk untuk bersedia menjalani hemodialisis sebagai jalan terapi satu-satunya. ia sudah 5 bulan didiagnosa GGK dan telah dianjurkan untuk menjalani Hemodialisis oleh dokter-dokter ahli yang merawatnya, namun alih-alih bersedia yang terjadi justru ia menolak dan kondisinya semakin buruk. Berbagai upaya telah ditempuh suami dan keluarga agar Bu En mau di-HD, termasuk mendatangkan temannya yang pernah mengalami penyakit dan terapi serupa. saudara iparnya yang perawat di RS PELNI pun telah kehabisan usaha. Nah, dr Iman ahli hipertensi dan nefrologi di RSIAMTP yang sekarang merawat BU En juga menganjurkannya menjalani HD sebab kadar Ureum, Creatininnya telah jauh melebihi batas, ia hanya bisa kencing 10cc padahal telah diberi Lasix 2x3 ampul. Badannya semakin sembab dan pucat. Perawat ruangan meminta Dokter Hasan melakukan tugas yang asing: memotivasi Bu En!
Selesai mengenalkan diri, Dokter Hasan memulai obrolan dengan beberapa pertanyaan seputar keadaan si ibu saat ini. Bu En berumur 40 tahun, bekerja di sebuah BUMN dan memilki seorang anakperempuan berumur 8 tahun. Entah sengaja untuk menutupi kepucatannya, bibirnya berpoles lipstik. Namun kelopak matanya tak mampu menyembunyikana anemia yang ia derita. Nafasnya terlihat payah, pikirannya acap terlihat kosong.
Setelah melihat si ibu, Dokter Hasan mengajak suaminya bicara di ruang perawat dan menanyakan beberapa informasi seputar sakit sang istri dan sejauh mana usaha yang telah ditempuh. Agaknya sang suami yang terlihat lebih muda 5 tahun dari Bu En itu sudah pasrah juga tidak tahu harus bagaimana memotivasi sang istri tercintanya. matanya berkaca-kaca saat bekata,"Akhirnya saya harus berdiri di pihak istri saya, karena yang ia butuhkan kini hanyalah dukungan. Semua orang, para dokter dan saudar-saudaranya mengeroyoknya dengan bujukan untuk HD tapi bagaiman ia sendiri tidak mau? Saya harus ada di sisinya, di pihaknya dan berhenti menyinggung masalah HD ini"
"Saya faham," kata Dokter Hasan kalem. Ia dari tadi lebih banyak mendengar dan mengikuti alur fikiran sang suami. Ia sedang memberikan empati. Matanya menyelami apa yang dirasakan sang suami. Beberapa kali kontak mata yang dalam terjadi antara Dokter Hasan dengan suami Bu En. "Kalau sudah begitu banyak termasuk para dokter ahli menjelaskan ke ibu dan membujuk untuk HD tapi tak berhasil Kira-kira siapa menurut Bapak yang bisa melakukannya ya? Ada orang yang bisa ia percaya?"
Sekali lagi Dokter Hasan menatap suami Bu En. Bertanya-tanya. Prihatin.
Suami Bu En mengelap matanya, lalu berkata, "Kelihatannya dokter bisa?"
Dokter Hasan terdiam. Orang ini memberikan kepercayaan kepadanya. Orang ini berharap darinya. apakah aku terlihat mampu? pakah karena tidak ada orang lain lagi? Ataukah ia hanya trial and error? Dokter Hasan tersenyum, "Saya akan coba..."
Dokter Hasan kembali mengetuk pintu kamar rawat Bu En, sebuah kamar kelas 2 yang lumayan nyaman. Bu En masih seperti tadi. Dan mungkin masih seperti 5 bulan yang lalu. Begitulah hari-harinya. Kosong, sembab dan memucat.
Dengan pakaian batik sehabis kondangan siangnya, Dokter Hasan tidak seperti seorang dokter. Barangkali ini menguntungkan, karena ia sudah menyingkirkan bayang-bayang seram seorang dokter yang menjatuhinya vonis mengerikan ini: gagal ginjal, penyakit tak tersembuhkan!
Sang dokter tampil lebih rileks. Ia duduk lebih dekat kearah Bu En. Di ruang itu ada dia, Bu En, ibunda Bu En dan Ve, anak gadisnya yang manis berumur 8 tahun. "Saya sudah bicara dengan suami Ibu. Saya memahami perasaan ibu. Saya sekarang ada di sebelah Bu En untuk mendengar langsung dari ibu, kenapa ibu tidak mau cuci darah?"
Bu En berhenti mengamati baju batik sang dokter. Fokus matanya melambung ke sebuah titik, jauh dari ruang kami bicara. Di titik entah. Biarkan ia senyap. Kadang senyap berguna. Ia jadi punya kesempatan untuk menjawab pertanyaan dengan sadar. Dengan sangat sadar.
"Takut." jawabnya tanpa ekspresi. Dan hampir tak terdengar.
"Ya. Takut,semua orang pasti takut sakit. Takut menjalani pengobatan yang belum pernah dilakoni. Tapi apa yang Bu En takutkan?"
Seperti tadi, perlu waktu beberapa puluh detik untuk menunggu jawaban dari bibir pucat berlipstik itu. Dan jawabannya hanya: "Sakit.." Sedatar dan sepelan yang pertama.
Lantas mulailah dokter yang masih muda itu berkisah apa itu Gagal Ginjal Kronik, bagaimana hemodialisis itu dikerjakan, apa akibatnya kalau dibiarkan, kisah-kisah penderita GGk yang sukses menjalani hidup dengan wajar, tentang harapan, tentang peran Allah dalam sakit seseorang dan kesembuhannya. Tentang cinta, tentang asa. sesekali ia menyentuh kaki si ibu yang terbalut selimut tebal. Ia percaya sentuhan mengalirkan kedekatan, menembus sekat, membuka pintu percaya. Kata-kata yang ia pilih adalah kata-kata penuh harapan. Nadanya diuntai selembut cinta.
"Ibu masih muda. Lihat nih anak ibu yang manis, kepengin dia lihat mamanya sehat. Jalan-jalan bareng. Ibu juga punya orang tua yang perhatian banget nungguin di RS..." tangan dokter Hasan menepuk-nepuk bahu Ve, anak Bu En itu.
Saat itulah, sekelebat dokter Hasan menangkap ada kilat di mata Bu en, tidak selayu tadi. Agaknya Bu En mulai percaya pada sang dokter pengisah. (Dokter ini bukan orang asing, lihatlah ia merangkul anakku. Ia tidak memandangku seperti pasien biasa. Tiba-tiba ia seperti orang yang sudah lama kukenal. Sepertinya tak salah kalau aku menuruti yang ia katakan..)
Dokter Hasan terus berkisah dengan sehati-hati mungkin, jangan sampai kepercayaan yang ia bangun roboh dengan sekali salah ucap. Ia masih meneruskan cerita-ceritanya. Masih berusaha menghadirkan asa dari cinta orang-orang terdekat Bu En. Tidak mudah membangun rasa percaya. Tidak mudah membangun kepercayaan diri Bu En yang sudah terlanjur putus asa. Antara yakin dan tidak yakin akan kemampuan dirinya, dokter Hasan terus mendekati sebuah titik: titik kepercayaan itu. Titik bernama kuncup asa.
Perlu waktu setengah jam untuk sampai kepada sebuah pernyataan yang telah ditunggu-tunggu selama 5 bulan. Ketika dengan suara yang masih lemah namun tidak terlalu datar:"Baiklah, saya pasrah.."
"Bagaimana, Bu En? Jadi mau ya cuci darah?
Ia mengangguk.
Ibunda Bu En menangis haru. Ia merangkul Dokter Hasan sambil tak henti-hentinya mengucap terima kasih dan alhamdulillah. Dokter Hasan menjabat tangan Bu En, memastikan dirinya akan turut mendoakan bagi kesembuhannya.
Di luar kamar, suami Bu En dan keluarganya berbahagia menemukan sebuah harapan tumbuh pada Bu En. Sore yang gerimis itu beberapa orang berbahagia. Sebahagia hati dokter Hasan.

NB: ketika menulis ini saya teringat ketika dokter Linda Yaunin SpKJ, dosen saya
dulu mendekati pasiennya seorang gadis yang mencoba bunuh diri (tentamen suicide). Secara tak sadar, tokoh dokter Hasan sedang mengadopsi gaya beliau. terima kasih, dokter Linda.

Manusia Setengah Dokter


Pasien, yang merupakan makhluk kompleks material spiritual sudah semestinya mendapatkan penanganan penyakit yang lebih holistik. Kesehatan holistik, menurut wikipedia, adalah filosofi kesehatan yang memandang bahwa aspek jasad dan mental adalah dua hal yang berkaitan erat dan sama pentingnya dalam pendekatan terapi.
Tuntunan bagi seorang dokter untuk tampil menangani pasien secara holistik datang dari Islam, yang menempatkan manusia apapun profesi dan posisinya adalah seorang khalifah Allah di bumi. Dalam bukunya, Sang Dokter, Dr Bahar Azwar SpB,Onk menulis bahwa seorang dokter adalah fungsionaris Allah di dunia kesehatan karena sumpah dokter selalu dimulai dengan nama Allah. Dengan begitu maka cara pandang kita terhadap manusia juga harus dengan cara pandang Islami, yang melihat bahwa manusia adalah makhluk tertinggi yang terdiri atas jasad, ruh dan akal yang menjadi satu entitas bernama al insan.
Kedudukan sebagai khalifah medis tentu memiliki tanggung jawab dan kualifikasi tertentu. Dalam buku At Thib an Nabawi (Praktek Kedokteran Nabi, Hikam Pustaka) Ibnul Qayyim al Jauzi menulis begini:
Hendaknya seorang dokter memilki keahlian di bidang penyakit hati dan ruh serta pengobatannya. Sebab hal itu adalah pangkal yang agung untuk pengobatan badan, sebab terpengaruhnya badan dan sifat alamiahnya oleh jiwa dan hati adalah kenyataan yang telah terbukti. Dokter yang mengetahui berbagai jenis hati dan ruh serta pengobatannya maka ia adalah dokter yang sempurna. Dan yang tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu, meski ia ahli dalam pengobatan segi alamiah dan badaniah maka ia hanyalah setengah dokter. Setiap dokter yang tidak mengobati pasien dengan membersihkan hati pasien itu dan memperbaikinya dan dengan memperkuat ruhnya dengan sedekah dan perbuatan baik, dan dengan mengarahkan perhatian kepada Allah dan akhirat maka ia bukanlah seorang dokter, melainkan seorang yang berlagak dokter yang cacat.
Dari semua pengobatan penyakit, yang paling agung adalah perbuatan baik dan ihsan, ingat Allah dan doa serta sikap penuh kekhusyukan dan memohon kepada Allah serta taubat...Tetapi hal itu sepadan dengan tingkat kesediaan jiwa pribadi dan penerimaannya (ikhlas), serta keyakinan akan manfaatnya.

Begitulah, kalau Hippocrates yang diangap Bapak Kedokteran (500SM) dan para dokter sejamannya menyebut diri Demigod (Manusia Setengah Dewa)dengan segala otoritasnya, justru Islam menuntun para dokter untuk lebih tawadhu' dengan mengemukakan konsep "Setengah Dokter". Ibnul Qayyim secara sadar menyatakan itu sebagai sebuah bentuk taujih (pengarahan) bagi dokter muslim untuk tampil secara holistik dan mengambil peran da'awi (amar ma'ruf nahi munkar) melalui profesinya.
Ia telah mengembang tugas kekhalifahan di wilayah kesehatan dengan baik.Ia telah mengambil alih tugas keseluruhan manusia untuk memelihara kesehatannya. dalam Al Quran dinyatakan bahwa barangsiapa yang memelihara hidup seorang manusia maka ia menjaga hidup seluruh manusia. Ini karena menurut Imam Al Ghazali tugas belajar kedokteran adalah adalah fardhu kifayah, sebuah kewajiban bagi seluruh manusia yang cukup diwakilkan kepada sebagian orang, dalam hal ini para dokter kejatuhan pulung mengemban amanah agung. Dokter muslim, sungguh agung kedudukannya!
Bila seorang dokter bisa memiliki keahlian medis yang bertanggung jawab, memilki pola pendekatan yang lebih humanis terhadap manusia sebagai insan spiritual, memahami secara cukup masalah hati, berhenti memandang pasien sebagai makhluk material semata apalagi menjadikan pasien sebagai sumber ekonomi, maka ia adalah dokter yang sebenarnya.Dokter yang ahli tetapi miskin nilai spiritual, atau kelewat kyai tetapi tidak kompeten maka ia bukanlah dokter.
Barangkali tidak salah kalau saya menimbrungkan pendapat bahwa antara dokter dengan pasien harus ada 'cinta'. Sebuah formula yang mampu menumbuhkan perhatian, kepedulian, dan tanggung jawab. Bukan hubungan yang transaksional, sekaku hubungan antara penjual dan pembeli, antara penyedia dan pengguna jasa. Mungkin saya salah, tetapi begitulah yang saya pahami.
Epilog: Hmm.. aku ini seperempat dokter apa seperdelapan, atau...?

Kata-kata yang Menyembuhkan


Pengisah Cinta. Dunia pengobatan sedang berjalan kpada asalnya, yakni pengobatan yang holistik, yang menyembuhkan manusia sebagai insan yang utuh, tidak terbelah-belah. Manusia modern yang terpecah antara jasad material dengan ruhani yang spiritual akhirnya menemukan momentum untuk menyatukan kedua sisi ini, setelah berabad penjarakan yang menyiksa. Pun dunia kedokteran, harus mulai membuat dunianya lebih utuh, memandang manusia bukan lagi seonggok jasad wadag dengan instrumen organ, jaringan dan sel yang hidup karena aktifitas kelistrikan yang fisikal, enzim dan hormon yang kimiawi semata. Lihatlah lebih utuh, bahwa manusia adalah sesuatu yang hebat yang dikaruniai Allah jasad, ruh dan akal.
Salah satu kecenderungan baik ini saya lihat dalam tulisan Larry Dossey,MD seorang dokter Amerika yang sedang mengembangkan perspektif kedokteran yang lebih luas dari sekedar kamar operasi dan kapsul farmasi. Seperti pada umumnya dokter yang mengenyam pendidikan kedokteran sekuler, pada awalnya ia menganggap bahwa doa tak ubahnya tahayul. namun setelah berpuluh tahun praktik dan meneliti, ia tiba pada sebuah kesimpulan yang mengubah pandangannya itu, bahwa secara ilmiah doa memiliki kekuatan menyembuhkan. Ia kemudian menulis buku yang terkenal itu: "The Healing Words" (Kata-kata yang Menyembuhkan) yang pada kata pengantarnya ia katakan bahwa dengan memasukkan seni penyembuhan yang memperhatikan segi spiritual ke dalam dunia kedokteran, buku ini akan membuka jalan menuju suatu ilmu kedokteran yang lebih efektif dan manusiawi.
Boleh saja kalangan dokter yang lain meremehkan statemen ini, dengan berpendapat bahwa penelitian -penelitian yang dilakukan untuk menunjukkan manfaat doa itu metodologinya payah, rancangan dan pengamatannya jelek sehingga hasilnya pun ecek-ecek. Tapi coba simak dulu fakta ini: Hingga tahun 1993 para peneliti telah melakukan studi terkontrol sebanyak 131 bahkan dengan rancangan penelitian terakurat: Double Blind Randomized Control Trial. Lima puluh enam kajian ini memperlihatkan hasil-hasil yang signifikan secara statistik pada p<0,01>, sedangkan 21 studi memperlihatkan signifikansi p<0,05. Percobaan ini terkait dengan pengaruh doa terhadap enzim, ragi, bakteri, tumbuhan dan hewan serta manusia. Apabila masih dipertanyakan kualitasnya, maka harap dicatat: 10 di antaranya adalah disertasi doktoral, 2 tesis magister dan sisanya terpublikasi dalam berbagai jurnal kedokteran ternama.
Masaru Emoto dalam bukunya The True Power of Water membuktikan sekali lagi secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan betapa kata-kata yang baik mampu merubah bentuk molekul air yang semula berantakan menjadi kristal hexagonal yang indah, dan sebaliknya kata-kata negatif membuat bentuk yang buruk. Secara hipotetik sangat mungkin tubuh manusia yang antara 80 - 90 % nya adalah air memilki respon terhadap kata-kata. Dan kita sangat berhak untuk membuktikannya.
Agaknya para dokter harus membuka mata dan memberikan ruang bagi doa untuk menyembuhkan pasiennya. Jadi, tak usah segan untuk mendoakan pasien dan yang lebih penting adalah memotivasi pasien untuk mengerahkan kekayaan penyembuhan yang telah ia miliki, ialah do'a.
Berilah senyum yang menyembuhkan, dan kata-kata yang menyembuhkan. Sebuah wajah dari cinta. Wallahu a'lam.