Main Sinetron
Nonton sinetron itu begini:
Kita ikut sedih kala tokoh utamanya bersedih.
Kita ikut tertawa kala tokoh utama tertawa senang.
Kita ikut tegang manakala tokoh utama berada dalam situasi sulit.
Kekhawatirannya menjadi kekhawatiran kita.
Tapi kita tetap enjoy, toh?
Karena kita 'tahu' bahwa ini hanya sebuah episode yang akan berlalu. Ending nya pasti baik.
Bahkan walaupun kita tidak tahu persis akhir ceritanya seperti apa, yang namanya nonton sinetron kita bisa ber laa tahzan.
Kenapa bisa begitu?
Karena prasangka baik kita terhadap sang sutradara:'ndak mungkin tokoh utama bakalan ancur kayak gini, ntar juga menang.'
Saya bukan pendoyan sinetron. Nonton sinetron hanya setahun sekali, ya kalau bulan Ramadhan saja. (Hihihi... nggak acik yah, Ramadhan malah nonton sinetron? Lha kan di luar Ramadhan udah puasa nonton sinetron?)
Saya baru saja kehilangan seri Para Pencari Tuhan yang mengunggah persoalan hidup dengan ringan, penuh canda namun mampu menyentil sisi-sisi naif manusia tanpa menggurui. Beruntung tahun ini ada Ketika Cinta Bertasbih di RCTI.
Alhamdulillah saya membaca dua jilid buku KCB dan menonton kedua film layar peraknya. Saya fikir setelah halaman terakhir buku itu, atau setelah saya tinggalkan bangku bioskop, Azzam dan Anna akan hidup bahagia selama-lamanya seperti kisah-kisah dongeng HC Andersen. Mereka membina rumah tangga yang super sakinah, mewarisi pesantren besar yang hebat, beranak cucu yang sehat dan sederet predikat kebahagiaan dunia akhirat yang bisa disandang manusia.
Namun prasangka saya ternyata tidak benar, di sinilah saya tercengang dengan kehebatan Habiburrahman El Shirazy yang ternyata dalam seri sinetron KCB mampu menampilkan potret bahwa kesempurnaan seorang Anna maupun Azzam ternyata tidaklah seperti yang dibayangkan oleh warga pesantren, pun oleh kita. Bagaimana ternyata dalam keshalihatannya, seorang Anna adalah pribadi yang keras, kurang tabayyun kepada suami sendiri dan gampang minta cerai. Bagaimana ternyata di balik citra tenangnya rumah mereka ada kemelut rahasia yang tidak sempat diketahui warga pesantren.
Tabik sekali lagi untuk Kang Abik El Shirazy. Tidak ada hidup yang paripurna selagi manusia masih berjalan di muka bumi.
Kadangkala kita terkagum kepada kesuksesan seseorang dan kurang mensyukuri diri apa adanya. Banyak orang ingin menjadi orang lain dengan melupakan diri sendiri.
Saya jadi teringat semasa koas (pendidikan klinik untuk mengambil profesi dokter). Rumah sakit sedang direnovasi besar-besaran saat itu. Banyak tukang bangunan yang sedang bekerja mememperbaiki dan membangun kembali gedung tua RSUP Dr M Djamil Padang. Nah, suatu hari menjelang maghrib saya berjalan di koridor yang mulai temaram dengan membawa sampel darah pasien baru untuk diperiksa di laboratorium kemudian hasilnya dianalisa untuk presentasi kasus besok paginya. Letih juga dinas dari pagi tadi hingga esok siang. Residen sudah pula menunggu di bangsal dengan tugas-tugas dan keangkeran mereka. Saya melihat dua orang tukang yang sedang mencangkul sambil ngobrol.
Saya membatin, Enak ya jadi mereka, kerjanya ringan, tidak ada yang memarahi mereka. Tak banyak tanggung jawab. Namun beberapa langkah kemudian -masih di koridor yang sama- entah kesambet apaan saya bisa 'menjadi' mereka yang seakan sedang bergumam: Enak ya yang jadi calon dokter, lihat bajunya gagah, tangannya bersih dan pasti hidupnya enak. Calon kaya tuh...
Dan dialog batin itu masih saya ingat sampai saat ini.
Oke, balik maning ke sinetron...
Kita enjoy saja mengikuti sang tokoh yang sedang tercekam takut, menikmati rasa takut sambil mengunyah popcorn.
Kita bisa mengikuti episode sengsara sang tokoh sambil tetap tidak lupa pada sepiring sayur lodeh di pangkuan.
Asyik saja membiarkan adrenalin menderas di tubuh kita sambil menikmati perjuangan si tokoh yang harus jatuh bangun meraih kemenangan.
Karena kita berprasangka baik kepada akhir dari sinetron tersebut.
Bat sobat...
Betul kita tidak mampu melihat ending dari hidup kita.
Tapi kalo kita berprasangka bahwa segalanya akan baik pada akhirnya, kayaknya kita bisa menikmati setiap episode yang kita perankan. Kan ada "Sang Sutradara"...
Maka, dengarlah ada yang berbisik:
Menangislah pada episode sedih. Itu hal yang benar.
Tertawalah pada episode gembira. Itu lebih baik.
Hadiri saja setiap episode dengan diri kita yang seutuhnya.
Nikmati saja setiap episode, engkau tahu akhirnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar